PREMBUN (www.beritakebumen.info) - Pengembangan buah bengkoang menjadi produk olahan yang memiliki nilai jual tinggi, dan sangat potensial untuk digarap. Namun, sejumlah petani penjual bengkoang di sepanjang Jalan Raya Prembun, Kebumen mengaku belum siap mengembangkan potensi hasil pertanian lokal tersebut.
Padahal rata-rata pedagang dalam sehari mampu menjual buah bengkoang hingga dua kuintal. Pedagang bengkoang, Nuryanti (49) mengatakan, permintaan bengkoang untuk konsumsi, saat ini cukup banyak.
Dalam sehari, warga Desa Tersobo Kecamatan Prembun, Kebumen tersebut mampu menjual bengkoang hingga dua kuintal. ‘’Setiap hari saya membawa empat karung (dua kuintal) bengkong.
Selain laku dibeli pengguna jalan, bengkoang yang tidak terjual akan langsung dibeli pedagang besar dari Jogja,’’ katanya, kemarin. Menurutnya, setiap hari dia rata-rata mampu menjual bengkoang 150 ikat. Untuk satu ikat dihargai Rp 4.000 sampai Rp 5.000.
Adapun bengkoang yang tidak terjual akan dibeli oleh pedagang besar Rp 3.500 per kilogram. ‘’Alhamdulillahsetiap hari barang yang saya bawa laku terjual. Ya, lumayan untung. Kalau mau dibuat makanan atau minuman olahan tentu saja jadi tambah repot,’’aku dia.
Meskipun potensi penghasilannya akan lebih besar jika melakukan diversifikasi produk, Nuryanti menilai, hal itu tidak sebanding dengan biaya operasional yang akan dikeluarkan. ‘’Kalau mengembangkan makanan olahan, tentu kita butuh banyak tenaga (orang-red) dan biaya.
Jadi, sekarang ini pedagang belum siap ke arah itu,’’beber dia. Pedagang lain, Umar Samsi (52) mengatakan, bengkoang yang dijual di sepanjang jalan tersebut sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Dia mengaku sudah melakoni usaha itu sejak delapan tahun lalu. ‘’Sejauh ini saya masih senang dengan usaha ini.
Alhamdulillah keuntungannya bisa untuk kebutuhan sehari-hari. Di sini, buah bengkoang tidak mengenal musim, jadi hampir setiap hari ada,’’ katanya. Menurut dia, hampir setiap petani di kecamatan tersebut menanam. Meskipun, hasil pertanian utamanya para petani adalah padi.
“Selain saya mempunyai lahan pertanian, saya juga membeli dari petani lainnya. Kalau ditingkat petani, saya membeli bengkoang Rp 270.000 per kwintal. Namun, bengkoang masih belum dipanen. Jadi saya harus mengeluarkan biaya lagi untuk petani pemanen dan pencuci bengkoang,” beber dia.
Sementara itu, seorang pembeli bengkoang, Nur Dayat (35) mengaku membeli buah bengkoang untuk oleh-oleh. Menurut dia, memang sudah seharusnya petani maupun pedagang bisa lebih kreatif, agar penghasilannya meningkat, pembeli pun tidak bosen dengan membeli buah bengkoang.
“Jika memang dikembangkan seperti dibuat kripik, minuman, sirup atau olahan lainnya tentu akan lebih variatif. Pembeli jadi tidak bosen. Semoga ke depan petani dan pedagang lebih bisa kretif,” harap dia. (mar-36/suaramerdeka.com)
Silahkan Beli Korannya dan Kunjungi Websitenya:
Padahal rata-rata pedagang dalam sehari mampu menjual buah bengkoang hingga dua kuintal. Pedagang bengkoang, Nuryanti (49) mengatakan, permintaan bengkoang untuk konsumsi, saat ini cukup banyak.
Dalam sehari, warga Desa Tersobo Kecamatan Prembun, Kebumen tersebut mampu menjual bengkoang hingga dua kuintal. ‘’Setiap hari saya membawa empat karung (dua kuintal) bengkong.
Selain laku dibeli pengguna jalan, bengkoang yang tidak terjual akan langsung dibeli pedagang besar dari Jogja,’’ katanya, kemarin. Menurutnya, setiap hari dia rata-rata mampu menjual bengkoang 150 ikat. Untuk satu ikat dihargai Rp 4.000 sampai Rp 5.000.
Adapun bengkoang yang tidak terjual akan dibeli oleh pedagang besar Rp 3.500 per kilogram. ‘’Alhamdulillahsetiap hari barang yang saya bawa laku terjual. Ya, lumayan untung. Kalau mau dibuat makanan atau minuman olahan tentu saja jadi tambah repot,’’aku dia.
Meskipun potensi penghasilannya akan lebih besar jika melakukan diversifikasi produk, Nuryanti menilai, hal itu tidak sebanding dengan biaya operasional yang akan dikeluarkan. ‘’Kalau mengembangkan makanan olahan, tentu kita butuh banyak tenaga (orang-red) dan biaya.
Jadi, sekarang ini pedagang belum siap ke arah itu,’’beber dia. Pedagang lain, Umar Samsi (52) mengatakan, bengkoang yang dijual di sepanjang jalan tersebut sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Dia mengaku sudah melakoni usaha itu sejak delapan tahun lalu. ‘’Sejauh ini saya masih senang dengan usaha ini.
Alhamdulillah keuntungannya bisa untuk kebutuhan sehari-hari. Di sini, buah bengkoang tidak mengenal musim, jadi hampir setiap hari ada,’’ katanya. Menurut dia, hampir setiap petani di kecamatan tersebut menanam. Meskipun, hasil pertanian utamanya para petani adalah padi.
“Selain saya mempunyai lahan pertanian, saya juga membeli dari petani lainnya. Kalau ditingkat petani, saya membeli bengkoang Rp 270.000 per kwintal. Namun, bengkoang masih belum dipanen. Jadi saya harus mengeluarkan biaya lagi untuk petani pemanen dan pencuci bengkoang,” beber dia.
Sementara itu, seorang pembeli bengkoang, Nur Dayat (35) mengaku membeli buah bengkoang untuk oleh-oleh. Menurut dia, memang sudah seharusnya petani maupun pedagang bisa lebih kreatif, agar penghasilannya meningkat, pembeli pun tidak bosen dengan membeli buah bengkoang.
“Jika memang dikembangkan seperti dibuat kripik, minuman, sirup atau olahan lainnya tentu akan lebih variatif. Pembeli jadi tidak bosen. Semoga ke depan petani dan pedagang lebih bisa kretif,” harap dia. (mar-36/suaramerdeka.com)
Silahkan Beli Korannya dan Kunjungi Websitenya:
KIRIMKAN INFORMASI / TULISAN / OPINI / UNEK-UNEK ANDA KE:
admin@beritakebumen.info
إرسال تعليق
Silahkan Berkomentar yang Baik dan Bermanfaat!